I have seen two orangutans, and I will let you know if I meet snake”. Sebuah pesan singkat itu dikirim oleh Alejandro dari Prevab, saat matahari belum tinggi 8 Agustus 2008. Alejandro Fernandez Debouchaud, 34 tahun, sengaja khusus datang dari Barcelona, Spanyol, untuk membuktikan bahwa satu-satunya kera besar di Asia itu masih tersisa di salah satu tempat terakhirnya, Prevab (satu tempat tujuan wisata minat khusus di TN Kutai
Alejandro bukan satu-satunya pencari bukti hidup dari makhluk menakjubkan itu. Dari tahun ke tahun sampai dengan bulan Juni-Juli 2008, pengunjung dari belahan dunia yang lain (Grafik 1), sengaja datang untuk membuktikan keberadaan dari sebuah identitas hutan hujan dataran rendah di Kalimantan, orangutan . Kehadiran mereka juga membuktikan perebutan tempat hidup karena orang dan orangutan sama-sama menyukai dataran rendah sebagai tempat hidup. Dataran rendah itu bernama TN Kutai. Lebih dari itu, dalam 1-10 ekor/km2 yang menjadi tempat hidup orangutan, maka daerah yang sama dapat dihuni oleh paling sedikit 5 jenis burung julang, 50 jenis pohon buah-buahan yang berbeda dan 15 liana yang berbeda yang strukturnya mencerminkan kondisi lingkungan yang rumit di hutan basah malesian yang belum terjamah (Meijaard dan Rijksen, 1999). Inilah yang membuat orangutan begitu penting bagi hutan dataran rendah.
Orangutan Borneo yang Terdesak
Orangutan ditemui di seluruh daratan Borneo, kecuali di Kalimantan Selatan dan Brunei Darussalam (Peta 1). Populasi terbesar berada di Kalimantan Tengah, sementara Kalimantan Timur adalah daerah dengan populasi orangutan terkecil (Tabel 1).
Di Borneo sendiri, menurut para ahli terbagi dalam 3 subspecies, yaitu Pongo pymaeus pygmaeus di bagian barat pulau Borneo meliputi Kalimantan Barat dan Serawak, Pongo pygmaues wurmbii berada dibagian selatan Borneo meliputi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dan terakhir Pongo pygmaeus morio berada di bagian timur Borneo meliputi Kalimantan Timur dan Sabah.
Bila subspesies terakhir digunakan sebagai pendekatan populasi di Kalimantan Timur, maka sesungguhnya jumlah 4.825 terdistribusi pada areal-areal yang sistem konservasinya tidak cukup, kecuali TN Kutai (Tabel 2). Tidak cukup karena dinilai instrumen pengelolaan terhadap habitat tidak memadai, seperti: pengelola, aturan hukum yang diberlakukan dan status areal yang menjadi habitat. Dengan demikian, TN Kutai sesungguhnya merupakan benteng terakhir dari tempat hidup orangutan di Kalimantan Timur.
Orangutan dulu dijumpai mulai dari Pulau Jawa hingga Himalaya dan Cina bagian selatan, tapi kini hanya bisa ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Tempat hidup yang disukai orangutan, secara kebetulan adalah tempat yang juga sangat disukai oleh manusia. Tempat itu adalah dataran rendah (peta 2).
Di belahan dunia manapun, secara intrinsik manusia lebih menyukai untuk menghuni dataran rendah sebagai tempat tinggal maupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu: pertanian, perikanan, pertambangan dan industri. Sebagian kecil memilih di luar dataran rendah, tetapi populasinya jauh lebih kecil, karena secara alami dataran rendahlah yang memberikan topografi lebih datar untuk kemudahan membangun aksesibilitas, antara lain: ibukota negara-propinsi-kabupaten, lapangan udara-pelabuhan laut, dan pusat pemasaran-perkantoran, dibandingkan dengan pegunungan-pesisir karena korbanan yang harus diberikan lebih mahal. Sementara di saat yang bersamaan, dataran rendahlah yang merupakan pusat keanekaragaman hayati tropis, sebuah daratan yang menjadi pusat keanekaragaman hayati di dunia. Sehingga yang dipertaruhkan sesungguhnya adalah kewenangan untuk mengelola dataran rendah, karena hal ini berkaitan dengan akses untuk mengelola kebutuhan manusia yang dimiliki dan terkandung di dalam dataran rendah.
Orangutan di Taman Nasional Kutai
Menurut Rikjsen dan Meijaard (1999;2004), TN Kutai adalah contoh yang jelas tentang kegagalan sistem pengelolaan kawasan dilindungi di Indonesia dan menyisakan potensi skanerio yang buruk bagi kawasan TN yang tersisa. Populasi orangutan berkurang drastis dari 4000 ekor pada tahun 1970-an menjadi hanya sekitar 500 ekor saat ini. Hal ini berarti pula bahwa keberadaan orangutan di Kalimantan Timur sangat terancam keberadaannya.
Pengurangan populasi orangutan diyakini akibat berkurangnya tempat-tempat yang menjadi tempat hidup orangutan, yang saat ini berubah menjadi areal Pertamina, jalan trans-propinsi dan pemukiman. Menurut Wirawan (1985), berdasarkan perjumpaan langsung dan dari sarang yang dijumpai, orangutan tersebar di hampir seluruh kawasan TN Kutai. Bahkan di luar kawasan orangutan dapat dijumpai terutama di Sungai Menamang Kiri dan Sungai Santan.
Namun demikian, orangutan sebenarnya terkonsentrasi di daerah pantai bagian timur kawasan TN Kutai mulai dari Lok Tuan, Sidrap, Teluk Pandan, Selimpus, Teluk Kaba, Sangkima, Sangata dan Mentoko. Pada tahun 2000 hasil dari interpretasi citra landsat, daerah-daerah konsentrasi orangutan seperti Lok Tuan, Teluk Pandan dan Teluk Kaba telah dikonversi menjadi pemukiman, kemudian hutannya juga telah terdegradasi sedang sampai berat bahkan ada yang telah menjadi alang-alang dan semak belukar. Dengan demikian, orangutan diperkirakan berpindah ke daerah Sangkima, Melawan dan Prevab-Mentoko.
Bagaimana Orangutan di TN Kutai bertahan setelah habitatnya terbakar?
Tekanan terhadap orangutan yang paling parah terjadi saat kawasan TN Kutai terbakar pada tahun 1983 dan 1997 yang menghanguskan sebagian besar kawasan hutan sebagai habitat orangutan. Hal ini merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi orangutan di TN Kutai, namun demikian orangutan masih dapat dijumpai di beberapa lokasi seperti Mentoko-Prevab dan mempunyai daya tahan yang tinggi untuk menghadapai kondisi yang sulit pasca kebakaran hutan.
Akira Suzuki, peneliti dari Universitas Kyoto, Jepang mendokumentasikan bagaimana orangutan di TN Kutai mampu bertahan hidup dalam kondisi yang sulit setelah kebakaran tahun 1983 melalui serangkaian penelitian jangka panjang di daerah Prevab-Mentoko. Bersama peneliti hutan tropis dari Jepang dipimpin oleh Hideo Tagawa dari Kagoshima University, Suzuki datang segera setelah kebakaran besar terjadi. Dengan kondisi hutan yang mengenaskan dimana hanya sedikit pohon yang masih ada terutama di dekat sungai, dengan daun yang jatuh tertiup angin, orangutan bertahan hidup dengan memakan kulit-kulit kayu. Tiga tahun setelah kebakaran hutan (1986), di saat hutan mulai beregenerasi, orangutan memakan pucuk-pucuk batang muda dari tumbuhan yang cepat tumbuh, saat itu, tidak banyak dijumpai orangutan di Mentoko.
Sepuluh tahun sejak kebakaran (1993), banyak orangutan yang pergi jauh ke dalam hutan, tidak dijumpai orangutan di lokasi penelitian Mentoko-Prevab kecuali seekor betina yang berada di dekat pos (Januari 1993), beberapa bulan kemudian saat musim buah Epile tiba, datang sekitar 10 ekor orangutan jantan sedang memakan buah Epile dan sekitarnya. Sampai bulan November orangutan betina dan beberapa jantan masih berada di lokasi tersebut. Pasca kebakaran hutan tahun 1997, pengamatan Suzuki terhadap induk orangutan yang baru melahirkan setelah terjadi kebakaran juga menunjukkan kemampuan satwa ini untuk bertahan dari kondisi yang sulit.
Survei udara yang dilakukan Suzuki (2007) menujukkan penyebaran orangutan di kawasan TN Kutai terpisah di sekitar sembilan bagian hutan di dalam kawasan TN Kutai (peta 3) . Belum ada penelitian di tempat lain selain di Mentoko-Prevab mengenai estimasi jumlah dan kondisi orangutan di bagian tengah kawasan ini. Jika dilihat keberadaannya yang jauh dari batas kawasan, kemungkinan orangutan di bagian-bagian hutan tersebut cukup aman dari gangguan.
Konflik Orangutan di Sekitar Taman Nasional Kutai
Dalam catatan Balai TN Kutai, konflik antara orangutan dan manusia terjadi di bagian timur kawasan. Kerusakan yang parah di bagian timur kawasan TN Kutai akibat pembukaan jalan, perambahan di sepanjang jalan poros Bontang-Sangata, keberadaan 2 kecamatan dan 7 desa dalam kawasan, dan illegal logging di lokasi-lokasi yang dulu merupakan habitat orangutan, telah mempersempit gerak orangutan di sebelah timur.
Tahun 2007, informasi masyarakat yang tinggal di pinggir jalan Bontang–Sangata , menemukan bayi orangutan di kebunnya. Bayi orangutan tersebut kemudian mati sebelum diselamatkan, tidak jelas apa penyebabnya.Di tahun yang sama, masyarakat melaporkan ada seekor orangutan jantan yang masuk ke pemukiman di Bontang. Orangutan itu kemudian dievakuasi ke hutan Sangkima. Tahun 2008 seorang keluarga menyerahkan orangutan bernama ‘Pengky’, berumur 3 tahun yang didapatkan dari Teluk Kaba, TN Kutai. ’Pengky’ sudah seperti hewan peliharaan sehingga diperlukan waktu untuk mengembalikan ke habitat alamnya.
Sebelumnya, sebuah keluarga yang tinggal di Bontang menyerahkan seekor orangutan jantan bernama “Agus Falentino” berumur 5 tahun yang dibeli dari seseorang di daerah Perkebunan karet, sekitar 10 kilometer dari Bontang arah ke Samarinda. ”Agus Falentino” kemudian di rehabilitasi oleh Yayasan BOSF Balikpapan.
Informasi keberadaan orangutan di lokasi yang dirambah diperoleh dalam sebuah survey terhadap 50 orang yang merambah di sepanjang jalan poros Bontang–Sengata dari Sangkima sampai Km. 9 menunjukkan 42% responden menyatakan pernah melihat orangutan di kawasan TN Kutai. Pembabatan hutan di daerah ini menyebabkan habitat orangutan semakin sempit. Konflik antara manusia dan orangutan juga dilaporkan oleh pemukim yang tinggal di sekitar Teluk Kaba, dalam kawasan TN Kutai,yang menginformasikan tentang orangutan yang mengganggu tanaman di kebun yang dikerjakannya. Penelitian Sugeng Jinarto (2008), keberadaan jalan poros Bontang-Sangata telah memberikan efek tepi negatif terhadap orangutan. Hal ini terlihat dari keberadaan sarang orangutan yang semakin jauh dari pinggir jalan.
Dalam kegiatan penyusuran batas TN Kutai sebelah selatan (2008), sarang-sarang orangutan baru (tipe A) masih dapat dijumpai di sepanjang batas, baik pada kawasan yang berbatasan dengan PT Indominco Mandiri maupun yang berbatasan dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Surya Hutani Jaya. Pada kawasan yang berbatasan dengan HTI ini terjadi konflik orangutan dengan areal yang ditanami Acacia mangium. Beberapa orangutan memakan kulit batang Acacia mangium sehingga menyebabkan kematian pada Acacia mangium yang ditanam. Serangan terhadap akasia kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya pakan orangutan yang ada di hutan. Menurut survei yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC), Balai TN Kutai dan PT Sinarmas Group (2007) diperkirakan ada sekitar 100-400 orangutan di areal HTI ini.
Upaya untuk mempertahankan dan menyelamatkan Orangutan?
Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk melindungi orangutan yang terancam di kawasan TN Kutai dan sekitarnya sebagai pertahanan terakhir orangutan morio di Kalimantan Timur dan juga kawasan disekitarnya, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Monitoring Populasi Habitat di TN Kutai
Walaupun belum dilakukan secara kontinu, monitoring populasi sudah dilakukan sejak tahun 1983 melalui serangkaian penelitian. Ada banyak penelitian yang dilakukan di TN Kutai. Untuk wilayah Prevab-Mentoko dan Sangkima, data penelitian disajikan dalam Tabel 3. Merujuk pada data hasil penelitian, kerapatan populasi orangutan di TN Kutai cenderung menurun (grafik 2). Dari data terbaru (tahun 2005), bisa dilihat bahwa populasi orangutan menurun drastis. Perlu disadari bahwa perubahan penutupan hutan di TN Kutai, yang adalah habitat alaminya, membawa dampak yang signifikan pada keberlangsungan populasi ini.
2.Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Orangutan di Kalimantan Timur
Pertengahan tahun 2007 beberapa pihak antara lain PT Sinarmas Forestry, Balai TN Kutai, (TNC) dan Yayasan BOSF, mengadakan diskusi untuk mengatasi permasalahan orangutan yang terjadi di kawasan TN Kutai dan sekitarnya.
Dalam Pertemuan ini disepakati untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) orangutan di Kalimantan Timur. Pokja bertugas untuk melaksanakan aksi penyelamatan orangutan dan habitatnya di dalam dan di sekitar kawasan TN Kutai, yang dilakukan dengan menyusun data dasar tentang orangutan dan habitatnya, menyusun dokumen rencana aksi dan menyelenggarakan berbagai lokakarya sebagai media sosialisasi
Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain survei populasi di areal PT. Surya Hutani Jaya yang berbatasan dengan TN Kutai yang dilakukan TNC dan PT Sinarmas pada pertengahan 2007, yang kemudian dipresentasikan di hadapan para pihak dan pakar orangutan, termasuk Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Dephut ( Dr. Tony Soehartono) untuk mencari upaya menyelesaikan kasus konflik orangutan dengan manusia terutama di areal perusahaan.
Rekomendasi forum antara lain dalam jangka pendek perlu dilakukan patroli dan penggiringan, pengayaan jenis pakan orangutan, relokasi dan pelatihan inventarisasi dan rescue. Sementara dalam jangka panjang adalah perbaikan bufferzone bekerjasama dengan TN Kutai serta pembuatan jalur koridor. TNC dan Orangutan Conservation Service Program (OCSP) juga melakukan inventarisasi populasi orangutan pada daerah yang terganggu di TN Kutai tahun 2008.
Penutup
Secara nasional, pemerintah telah membuat rencana aksi konservasi orangutan 2007 -2017. Dokumen yang diluncurkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini disusun oleh para ahli primata, yang berasal dari beberapa lembaga baik nasional maupun internasional. Dokumen ini merupakan panduan dalam penyelamatan orangutan Sumatera dan orangutan Kalimantan dan acuan bagi para pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan di Pulau Sumatera maupun P. Kalimantan
Pada tingkat regional, dengan diinisiasi oleh TNC dan OCSP telah dilakukan pertemuan-pertemuan baik dalam forum Pokja orangutan maupun pertemuan informal dengan pihak terkait seperti Balai TN Kutai, BOSF, pemerintah propinsi dan pihak-pihak lain untuk merumuskan rencana aksi konservasi orangutan wilayah Kalimantan Timur. Beberapa strategi dan program yang dipandang krusial meliputi: pengelolaan konservasi orangutan, aturan dan kebijakan pengelolaan konservasi orangutan, dan kemitraan dan kerjasama dalam mendukung konservasi orangutan.
Pada tingkat lapangan, Balai TN Kutai telah pula menyusun dokumen rencana aksi konservasi orangutan di TN Kutai.Dokumen tersebut setidaknya memberikan gambaran tentang upaya-upaya kedepan yang dapat dilakukan untuk melakukan upaya pengelolaan konservasi orangutan pada tataran lapangan.
Apabila rencana-rencana tersebut dapat diimplementasikan dalam aksi-aksi konservasi pada setiap level dan sinergi antara pihak dapat terus dipertahankan, maka masih terbit harapan, orangutan di Kalimantan Timur masih dapat bersanding dengan manusia dalam harmoni sehingga masing-masing dapat hidup tanpa ada sebuah perebutan….
Daftar Pustaka
Anonim,Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan di Indonesia 2007-2017.2007.
Departemen Kehutanan
Tresina.,Santoso,B., Hadraiani,D., Zahrotun Nisaa,A.D.,Djumadi,S.2005. Data Dasar TN
Kutai. Balai Taman Nasional Kutai, Bontang
Jinarto, Sugeng. 2008.Studi fragmentasi habitat dan analisis sebaran orangutan di Taman
Nasional Kutai , Thesis S2. Universitas Mulawarman, Samarinda
Meijaard,Erik; Riksen,HD. ,1999 .Diambang Kepunahan. Kondisi orangutan Liar diawal
abad 21. The Gibbon Foundation.
Singleton,I.S. Wich,S.Husson,S.Stepens,S.Utami Atmoko, M. Leighton, K.Traylor-Holzer,
R.Lcy and O.Byers(eds.) .2004.Orangutan Population and Habitat Viability
Asasment: Final Report.IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple
Valley, MN.
Suzuki, Akira.1988. The socio-ecological study of orangutan and the forest conditions after
the big forest fires and drought, 1983, in kutai National Park, Indonesia,. Occasional
paper no. 14, Research centre for The South Pacific, Kagoshima University
Suzuki, Akira. 1994 Feeding adaptations of orangutans aftar the forest fires in East
Kalimantan. Primate Research Institue, Kyoto University,Jepang
Wirawan, Nengah.1985. Kutai National Park Management Plan 1985-1990. WWF-IUCN
Report No.10 Project 1687, Bogor